05 April 2009

Begitu Cepat

Semuanya berjalan begitu cepat. Seperti derasnya arus sungai ketika meluap. Hidup terasa amat singkat. Sebentar lagi masa kuliah ini akan berakhir dan aku masih bertahan dengan mimpi-mimpi ini. Apakah aku masih mampu memandang senyumnya yang rupawan itu. Apakah aku masih mempunyai kesempatan untuk menatap matanya yang indah itu. Terlebih apakah aku masih punya kesempatan untuk menyatakan semua isi hati ini kepadanya. God, Give that chance.  Say my all hearth voices. Talk about my honesty. Every hardness always has chance but until now, I can not find that chance

Berjanji Pada langit Biru


Apakah aku masih ada bersamaku

Saat kita bersama memandang hutan kecil itu

Apakah aku masih mampu berbicara padamu

Seperti yang sering kulakukan dahulu

 

Dan kabut tipis kini menyelubungi pikiranku

Setipis awan yang selalu menyelimutimu dulu

Apakah ia masih setia ada di sana

Agar aku datang untuk mengajak kalian berbicara seperti dahulu

 

Apakah kau masih mengingat janji kita dahulu

Ya, aku masih mengingat semuanya dengan jelas

Sejelas aku mampu melihat

Memandangi birunya warna dirimu

 

Untuk itu aku datang kembali

Karena aku masih mengingat janji itu

Janji yang kuikrarkan di dalam kesendirian dan kesunyian

Yang kau sambut dengan senyum hangatmu

 

Ya, janji itu belum berubah teman

Aku masih berjuang dalam kesendirian

Ditemani harapan dan harapan lagi

 

Ya, aku masih mengingatnya

Aku pernah berjanji denganmu . . .

Dan Aku telah Berjanji

Dan kehidupan akan segera dimulai. Beberapa agenda telah menungguku. IVED, KKTM, NUEDC (maybe), dan writing competition lainnya. Dalam hati ada banyak perasaan yang tercampur aduk. Khawatir akan pembatalan sepihak, kekhawatiran akan ketidakmampuan diri  dalam menyelesaikan semuanya itu, rasa gugup dalam menghadapi lawan bertanding di dalam kompetisi, kondisi keuangan yang cukup buruk yang ditandai dengan semakin bergantungnya isi kantong dengan bantuan dari pihak ketiga, dan juga masih harus memikirkan perkuliahan yang tinggal menghitung bulan Semua hal ini membuat diriku sempat gamang, apakah aku mampu untuk menghadapi ini semua. Belum lagi harus menyelesaikan beberapa masalah dengan si mei. Dunia tinggal beberapa centi bagiku.

            Terkadang aku berpikir untuk membuang beberapa agenda yang telah kususun agar aku tak terbeban. Tapi nuraniku berontak. Semua agenda itu adalah mimpi-mimpi masa mudaku yang sejak setahun lalu kusumpahkan untuk berjuang memperolehnya. Aku ragu apakah dengan membuang beberapa agenda itu, aku masih mempunyai kesempatan untuk mewujudkannya. Seiring dengan semakin memburuknya kondisi keluarga, keinginan dan kebutuhan untuk memperoleh atau mendapatkan penghasilan sendiri semakin mendesak. Dan itu berarti aku harus bekerja. Dan bekerja tentunya akan mengambil hampir seluruh waktuku. Jikapun aku masih dapat untuk meneruskan kuliahku sampai jenjang S1, itu pasti dilakukan di sela-sela waktu bekerja. Dengan kata lain, hampir dapat dipastikan bahwa aku takkan mempunyai waktu lagi untuk berkompetisi. Mimpi itu akan hilang oleh keadaan dan nasib hidup. Itulah yang membuat aku berpikir bahwa enam bulan terakhir ini adalah kesempatan satu-satunya bagiku untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Sudah terlalu lama aku harus mengorbankan mimpi-mimpiku. Dan saat ini, aku ingin mimpi masa mudaku ini dapat kuwujudkan.

            Dan rintangan dan kesulitan ini semakin menyesakkan. Hampir-hampir mencekikku. Terkadang aku hampir putus nafas. Untung masih ada hangatnya kasih Tuhan dalam hati yang sempit itu. Dan tiba-tiba aku teringat suatu kenangan indah ketika aku masih duduk di bangku SMA. Sebuah kenangan dalam kesendirian. Kala itu, aku sering berdiri dan termenung di samping kamar mandi sekolah lantai dua. Dari sana dapat kupandangi hamparan langit biru yang berselimutkan hamparan awan yang tipis. Angin berhembus perlahan seolah ingin menemani. Di bawah bentangan langit itu, hutan kecil seolah menjadi penyangga bagi langit agar ia dapat terus tegap berdiri. Di sanalah aku dahulu sering berdiri dalam kesunyian dan kesendirian.

            Suatu ketika, ketika aku duduk di kelas III, aku berdiri lama di sana. Memikirkan masalah-masalah yang menimpa hidupku. Kegamangan di akhir masa SMA, kekhawatiran akan masa depan yang belum ada kejelasan benar-benar membuatku terbeban. Saat itu, aku benar-benar tak melihat adanya pintu terang, akan kemanakah aku setelah lepas SMA. Dan aku memandangi langit biru itu untuk kesekian kalinya. Dan aku melihat bahwa saat itu, langit biru sedang tersenyum padaku. Dia tidak berkata sepatah katapun. Namun aku mengerti maksudnya. Aku telah menemukan jawabannya. Saat itu, dia seolah mengisyaratkan bahwa akan harapan yang cerah bagiku, secerah warna biru tubuhnya, asalkan aku bersedia melakukan satu hal, berjuang dalam kobaran harapan.

            Aku tak tahu saat itu,  secerah apakah esok hari, tapi hatiku benar-benar  lapang ketika itu. Aku menerima tawarannya. Sejak saat itu, aku telah berjanji padanya untuk berjuang, memperjuangkan masa depanku. Ya, aku telah berjanji kepada langit biru itu. Dengan bersimpuh kepada Tuhan, aku menangis telah menemukan jawaban yang selama ini kucari.

            Dan keajaiban terjadi dalam hidup. Secara tidak terduga, aku lulus dalam penerimaan mahasiswa baru USU melalui jalur PMP. Tuhan, kau telah memberikan jalan yang selama ini kugumulkan selama SMA. Aku berlari untuk menemui langit biru itu. Lagi-lagi dia hanya tersenyum. Tapi itu telah lebih dari cukup untuk aku mengetahui perasaannya.

            Dan kini, aku telah sampai di penghujung kuliah diplomaku. Aku mungkin kembali merasakan kegamangan yang sama. Kegamangan akhir masa kuliah. Tapi dengan penuh keyakinan, aku kembali mengingat langit biru. Aku kembali teringat bahwa aku telah berjanji pada langit biru itu. Dan perjanjian itu masih ada sampai saat ini. Tuhan, biarlah Roh Kudus-Mu menemaniku pada pergumulanku ini.


Hari Pertama

Ini adalah hari pertama di tahun 2009 ketika aku mulai menulis kembali. Ada kebahagiaan yang memuncak ketika aku mengetahui bahwa aku telah melewati tahun 2008 dengan penuh kejutan. Aku teringat ketika aku menulis catatan harian ini di awal tahun 2008. Ketika itu, aku masih dalam kondisi yang amat jatuh. Setelah kegagalan menjadi jurnalis di Suara USU yang begitu mengguncang hatiku, ditambah dengan anjloknya prestasi belajarku yang ditandai dengan merosotnya indeks prestasi kumulatif. Semuanya membuat aku begitu lunglai menghadapi dunia. Beruntung Tuhan masih berbaik hati. Melalui sebuah novel yang berjudul Laskar Pelangi, aku seperti mendapatkan kembali kekuatan dalam menjalani hidup. Aku mendapatkan kembali hidup dan cita-cita awalku. Semuanya itu membuat aku kembali bersemangat menjalani hari-hariku kembali.

            Dan Tuhan kembali memperlihatkan keajaiban yang tak ada seorang pun dapat menerkanya. Entah apa yang membuat aku begitu tertarik dengan selebaran kecil perekrutan anggota baru klub debat Bahasa Inggris yang bernama USU Society for Debating. Tapi itulah membuat aku percaya akan rahasia kehidupan. Selebaran kecil itu telah mengubah perjalanan hidupku. Melalui seleksi yang begitu mengherankan bagiku, aku terpilih untuk masuk ke dalam team debat yang akan diberangkatkan ke Universitas Negeri Padang. Keterkejutan ini begitu indah bagiku. Pertama kalinya dalam hidupku aku merasa begitu berharga. Pertama kalinya dalam hidupku aku akhirnya dapat pergi ke luar kota dengan menumpang pesawat. Pertama kalinya dalam hidupku aku merasa bahwa aku bukanlah orang yang gagal. Aku hanyalah salah tempat di Suara USU.

            Dan keajaiban itu terus berlanjut. Sehabis dari Padang, aku lalu berangkat ke Semarang untuk mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional. Lagi-lagi keajaiban membawaku untuk pertama kalinya  ke sebuah perhelatan akbar berskala nasional. Tangisku hampir pecah. Begitu besar kasih-Mu Tuhan atas hidupku yang tidak berharga ini. Dalam usia yang masih muda ini, aku telah menjejakkan kakiku ke dataran Jawa, dimana para mahasiswa unggulan berkumpul. Menggugah kesadaranku, mengobarkan semangatku untuk berbuat lebih baik lagi. Terlepas dari begitu banyaknya kerikil tajam yang terkadang menusuk telapak kaki, aku terus berjalan dengan yakin.

            Dan setelah itu, hidupku dipenuhi dengan kompetisi-kompetisi. Semuanya membarikan sebuah pengertian bahwa masih banyak hal yang harus kuperbaiki. Dan itu terus kulakukan. Ditengah-tengah kelelahan, kebosanan, dan ketegangan, aku terus berjalan. Semuanya memberikan pemahaman bahwa seorang manusia adalah seonggok makhluk yang telah mencicipi nikmatnya duri yang menacap di kaki, yang telah mampu menikmati setiap titik peluh yang jatuh dan menikmati setiap ketegangan yang mungkin terjadi dalam rangka menunjukkan eksistensi diri.

            Dan aku saat ini sedang menikmatinya. Menikmatinya lelahnya mata dan otak yang selalu bersitegang dalam hal mencari referensi dan kejelasan atas suatu fenomena ilmiah. Menikmati dinginnya malam dengan hanya ditemani segelas air putih panas dan sebentuk komputer jinjing. Terkadang tubuh ini berontak, namun niat hati ini lebih kuat

salam perkenalan

Hanya salam perkenalan. Ya, hanya salam perkenalan kembali yang dapat kukatakan kepada laptopku, Acer 4530   setelah 3 minggu lamanya aku berpisah dengannya. Hidup begitu ajaib bagiku. 3 minggu yang mengagumkan karena akhirnya aku dapat mengunjungi tempat-tempat yang mengagumkan yang mungkin selama ini hanya dapat kubaca di Koran dan kulihat di televisi. Situs Majapahit di Trowulan, Lumpur Porong di Sidoarjo, Institut Teknologi Sepuluh November. Terima kasih Tuhan karena kasih-Mu telah membimbing aku ke sana. Ke tempat yang amat mengagumkan yang amat kukagumi. Kasih-Mu sekali lagi membuktikan keajaiban dalam hidupku.

24 Oktober 2008

Tak Mampu Untuk Dimengerti

Hidup ini rasanya semakin cepat berlari. Rasa-rasanya aku tak mampu lagi untuk mengejarnya. Beruntunglah waktu terkadang  mau menoleh ke belakang. Sekedar untuk memastikan bahwa aku masih sudi untuk mengejarnya.

            Aku semakin tak sabar dan gelisah. Tak sabar karena aku ingin secepatnya keluar dari kehidupan yang selama ini mengungkung diriku dan pemikiranku. Tetapi juga gelisah karena aku semakin khawatir apakah aku akan mampu untuk bertahan melawan ganasnya ombak hidup yang setiap saat menunggu kesempatan untuk menggulungku tanpa ampun.

            Hidupku memang selalu membingungkan seperti halnya hidupku yang juga membingungkan bagi sebagian orang. Aku jadi teringat dengan kata-kata Ingrid dalam sebuah message di friendster. Aku terlalu membingungkan untuk dikenal, apalagi untuk dicintai. Mungkin dia benar, tapi tak tertutup kemungkinan bahwa pendapatnya itu keliru.

            Aku akan membingungkan bagi orang yang mungkin sampai saat ini belum mempunyai mimpi dalam hidupnya. Oarng-orang yang masih salah dalam mengartikan peribahasa “hiduplah seperti air yang mengalir”. Orang yang masih mengartikan bahwa hidup seperti air yang mengalir adalah hidup  yang membiarkan dirinya dipermainkan oleh nasib. Tentu saja dia tidak akan pernah mengerti aku. Seperti ungkapan seorang tokoh politik yang aku lupa namanya, orang awam tak akan mengerti jalan pikiran orang yang melihat ke depan.

            Akankah dia akan mengerti hal ini suatu hari nanti? Entahlah. Aku tak mampu memastikan. Nanti akan kucoba menanyakannya pada waktu.

18 Oktober 2008

Emas Tetaplah Emas

Siang tadi menyisakan sebuah pelajaran yang cukup berarti bagiku. Setidaknya pembicaraan siang tadi telah membuat aku semakin bijak dan yakin dalam menjalani hidup ini.

            Tadi siang ketika hendak berjalan ke perustakaan bersama dengan reni dan teman-teman yang lain, kami bertemu dengan bekas mahasiswa jurusan kami yang kemudian pindah jurusan ke Manajemen Fakultas Ekonomi USU. Kami lantas membicarakan hal tersebut, tentu saja dengan membawakan sudut pandang masing-masing.

            Menurutku apa yang telah dilakukan oleh kawan kami yang pindah jurusan tersebut tidaklah buruk. Setidaknya dia telah memilih agar langsung memilih program Strata 1 (S1), tidak melalui program Diploma III seperti kami. Menurutku, hal ini tentu akan memudahkannya untuk mencari dan memperoleh pekerjaan.

            Tapi sepertinya reni punya pandangan lain. Dia mengatakan bahwa jurusan tidak menjamin seseorang akan berhasil kelak di kemudian hari. Dia kemudian mengambil perumpamaan emas. ”emas itu, walaupun dicampakkan kemanapun, emas akan tetap menjadi emas. Dia akan selalu berkilau terkena sinar mentari walaupun orang lain mencoba menutupinya. Walaupun jurusan yang kita tekuni mungkin bukanlah jurusan ataupun konsentrasi ilmu yang populer, asalkan kita memang benar-benar ahli dalam bidang tersebut, orang-orang akan terus mencari dan membutuhkan kita.” Katanya panjang lebar menjelaskan pandangannya.

            Wah, segar sekali pandangannya. Benar-benar segar dan optimis seperti bunga yang bermekaran di musim semi. Tak ada pandangan pesimis yang mencoba menjatuhkan. Bagiku itu adalah sesuatu yang baru. Emas akan tetap menjadi emas walaupun dia dilempar kedalam kubangan lumpur. Dia akan tetap menjadi logam mulia yang akan terus berkilau terkena sinar matahari. Tak akan ada yang akan mampu untuk menghalau sinarnya.

            Dia mungkin benar. Perjuangan kami sekarang adalah terus berupaya menjadi emas. Berupaya untuk terus berkilau di tengah dunia. Memberikan pencerahan, sehingga semua orang akan merasa membutuhkannya. Benar-benar membutuhkannya. Setidaknya kali ini reni benar dengan sudut pandangnya. Ya, setidaknya dia benar bagiku, bagi pemahamanku.