05 April 2009

Dan Aku telah Berjanji

Dan kehidupan akan segera dimulai. Beberapa agenda telah menungguku. IVED, KKTM, NUEDC (maybe), dan writing competition lainnya. Dalam hati ada banyak perasaan yang tercampur aduk. Khawatir akan pembatalan sepihak, kekhawatiran akan ketidakmampuan diri  dalam menyelesaikan semuanya itu, rasa gugup dalam menghadapi lawan bertanding di dalam kompetisi, kondisi keuangan yang cukup buruk yang ditandai dengan semakin bergantungnya isi kantong dengan bantuan dari pihak ketiga, dan juga masih harus memikirkan perkuliahan yang tinggal menghitung bulan Semua hal ini membuat diriku sempat gamang, apakah aku mampu untuk menghadapi ini semua. Belum lagi harus menyelesaikan beberapa masalah dengan si mei. Dunia tinggal beberapa centi bagiku.

            Terkadang aku berpikir untuk membuang beberapa agenda yang telah kususun agar aku tak terbeban. Tapi nuraniku berontak. Semua agenda itu adalah mimpi-mimpi masa mudaku yang sejak setahun lalu kusumpahkan untuk berjuang memperolehnya. Aku ragu apakah dengan membuang beberapa agenda itu, aku masih mempunyai kesempatan untuk mewujudkannya. Seiring dengan semakin memburuknya kondisi keluarga, keinginan dan kebutuhan untuk memperoleh atau mendapatkan penghasilan sendiri semakin mendesak. Dan itu berarti aku harus bekerja. Dan bekerja tentunya akan mengambil hampir seluruh waktuku. Jikapun aku masih dapat untuk meneruskan kuliahku sampai jenjang S1, itu pasti dilakukan di sela-sela waktu bekerja. Dengan kata lain, hampir dapat dipastikan bahwa aku takkan mempunyai waktu lagi untuk berkompetisi. Mimpi itu akan hilang oleh keadaan dan nasib hidup. Itulah yang membuat aku berpikir bahwa enam bulan terakhir ini adalah kesempatan satu-satunya bagiku untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Sudah terlalu lama aku harus mengorbankan mimpi-mimpiku. Dan saat ini, aku ingin mimpi masa mudaku ini dapat kuwujudkan.

            Dan rintangan dan kesulitan ini semakin menyesakkan. Hampir-hampir mencekikku. Terkadang aku hampir putus nafas. Untung masih ada hangatnya kasih Tuhan dalam hati yang sempit itu. Dan tiba-tiba aku teringat suatu kenangan indah ketika aku masih duduk di bangku SMA. Sebuah kenangan dalam kesendirian. Kala itu, aku sering berdiri dan termenung di samping kamar mandi sekolah lantai dua. Dari sana dapat kupandangi hamparan langit biru yang berselimutkan hamparan awan yang tipis. Angin berhembus perlahan seolah ingin menemani. Di bawah bentangan langit itu, hutan kecil seolah menjadi penyangga bagi langit agar ia dapat terus tegap berdiri. Di sanalah aku dahulu sering berdiri dalam kesunyian dan kesendirian.

            Suatu ketika, ketika aku duduk di kelas III, aku berdiri lama di sana. Memikirkan masalah-masalah yang menimpa hidupku. Kegamangan di akhir masa SMA, kekhawatiran akan masa depan yang belum ada kejelasan benar-benar membuatku terbeban. Saat itu, aku benar-benar tak melihat adanya pintu terang, akan kemanakah aku setelah lepas SMA. Dan aku memandangi langit biru itu untuk kesekian kalinya. Dan aku melihat bahwa saat itu, langit biru sedang tersenyum padaku. Dia tidak berkata sepatah katapun. Namun aku mengerti maksudnya. Aku telah menemukan jawabannya. Saat itu, dia seolah mengisyaratkan bahwa akan harapan yang cerah bagiku, secerah warna biru tubuhnya, asalkan aku bersedia melakukan satu hal, berjuang dalam kobaran harapan.

            Aku tak tahu saat itu,  secerah apakah esok hari, tapi hatiku benar-benar  lapang ketika itu. Aku menerima tawarannya. Sejak saat itu, aku telah berjanji padanya untuk berjuang, memperjuangkan masa depanku. Ya, aku telah berjanji kepada langit biru itu. Dengan bersimpuh kepada Tuhan, aku menangis telah menemukan jawaban yang selama ini kucari.

            Dan keajaiban terjadi dalam hidup. Secara tidak terduga, aku lulus dalam penerimaan mahasiswa baru USU melalui jalur PMP. Tuhan, kau telah memberikan jalan yang selama ini kugumulkan selama SMA. Aku berlari untuk menemui langit biru itu. Lagi-lagi dia hanya tersenyum. Tapi itu telah lebih dari cukup untuk aku mengetahui perasaannya.

            Dan kini, aku telah sampai di penghujung kuliah diplomaku. Aku mungkin kembali merasakan kegamangan yang sama. Kegamangan akhir masa kuliah. Tapi dengan penuh keyakinan, aku kembali mengingat langit biru. Aku kembali teringat bahwa aku telah berjanji pada langit biru itu. Dan perjanjian itu masih ada sampai saat ini. Tuhan, biarlah Roh Kudus-Mu menemaniku pada pergumulanku ini.


Tidak ada komentar: